Purcepnews - Pembatalan sepihak penjualan 300 ribu ton beras oleh Thailand kepada Indonesia menunjukan kebijakan proteksi pangan bagi petani Thailand dan rendahnya posisi tawar Pemerintah Indonesia.
"Pembatalan tersebut harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah khususnya Bulog untuk lebih maksimal menyerap gabah dari petani lokal," kata Anggota Komisi IV DPR, Rofi’ Munawar, dalam pernyataannya ke redaksi "PRLM", Kamis (29/9).
Menurut Rofi, pemerintah Yingluck Shinawatra beralasan tidak mau menjual berasnya ke Indonesia dikarenakan harga jual beras Indonesia terlalu rendah dan kesepahaman perjanjian impor dilakukan pemerintahan sebelumnya.
"Pemerintahan baru Thailand berjanji akan membeli harga beras petani lokal 15.000 Baht atau US$ 481 per ton untuk komoditas padi pada Oktober mendatang. Ini lebih tinggi ketimbang harga pasar 8.000 Baht selama Agustus," katanya.
Proses jual beli telah disepakati pada Agustus lalu bahwa 15% broken grade rice dijual US$550 per ton dengan pola penyerahan cost & freight (C&F), atau sekitar US$ 515 per ton dengan pola free on board (FOB). "Dalam perhitungan awal, Bulog harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun jika 300 ribu ton beras teralisasi," katanya..
Adanya pembatalan impor beras, kata Rofi, harus jadi momentum peringatan yang sangat penting bagi Pemerintah guna memperbaiki konsep ketahanan pangan. "Kita harus kembali bertumpu kepada kekuatan pangan nasional,”
No comments:
Post a Comment